Selompret Hidoep

Tuesday, December 27, 2005

menjadi yang terpilih

kadang-kadang gw dituntut untuk jadi yang terbaik yah..minimal sepertiga teratas dari 3 bagian, atau 1/4 teratas dari 4 bagian. ga tau sih siapa yang nuntut gue. secara *sosok* sih gak ada. mungkin ada *hidden motivator machine* kali ya dalem diri gue. masi inget dah waktu *reputasi* gw sebagai siswa selalu ber-raport hitam, hancur lebur waktu menerima raport semester 1 di SMU Sanur. Gw bingung gimana ngomong sama alm.bokap, untuk dateng ngadep wali kelas, karena saat itu,gak ada tuh riwayat rapot merah delima merekah di laporan akademik gue dari TK sampe SMP =)) hahahah.Sampai sekarang g masih inget *blangwir* pertama di rapot gw, trio yoyo matematika (5) fisika (4) kimia (4).kalo skenario begini terjadi di semester 2, bakal vonis gak naek kelas. Duh..waktu itu nasib gue kaya dijungkirbalikkin. seperti ada yang ngomong di dalem fikiran gw :"..ree, emangnya kamu bakal jadi selamanya yang terbaik? nggak lagi...!!" howa..!! goodbye deh ngejar-ngejar ranking kaya' di SD-SMP.Naek kelas aja udah harus selametan tuh!hahahahaha. Sanur emang bikin otak gue selalu kenyut-kenyut, jedug-jedug dengan ulangan beruntun,buku2 8 kilo sehari, plus temen sekelas yang gw bingung dikasi makan apaan sama ortunya, kok bisa pinter gitu yah..(ampe sekarang g gak nemu jawabannya, hahahaah).Tapi ya,thank God, lama-lama gw bisa ikutin juga.

harapan gw yang terlalu tinggi (atau gw yang terlalu pede?) juga dialami waktu g ikut UMPTN. Waktu itu, siapa sih yang ga pengen masuk UI?.Tuntutan diri gw yang *harus masuk UMPTN* sangat besar, apa lagi g sempet ngajar-ngajarin soal2 UMPTN sama sesama temen sekelas gue. hahahahah secara ga langsung, ada *tuntutan moral* bahwa, yang ngajarin, seharusnya harus lulus UMPTN dong, dari pada yang diajarin. sampai hari H pengumuman, gw was-was nungguin koran KOMPAS yang mengumumkan hasil ujian saringan masuk UMPTN. bokap, nyokap, adek gue, gue larang untuk ikutan mencari bareng nama gue di daftar pengumuman. hati kecil gue bilang, biar gue aja deh yang tau pertama, even it's bad or good (padahal sebenernya takut kalo bener ga diterima). hasilnya? gw gagal masuk UMPTN. haduuuh berasa langit-langit rumah gue rubuh deh..! mo ngomong malu sama nyokap bokap. apa lagi ngeliat hasil 4 temen gue yang dulu tekun gue *bimbing* mengerjakan soal-soal UMPTN, semuanya masuk UI..!!gw masi inget dulu gw nangis, dan air mata gw, gue leletin di gambar Yesus yang ada di ruang kamar gue. biar Yesus juga rasain niiih..gondognya gue kaya apaan. sia sia deh semuanya. satu lagi gue belajar ternyata, hidup itu ya..penuh seleksi, dinilai, divonis, masuk atau tidak masuk, lulus atau tidak lulus. dan hasilnya, kadang-kadang kita harus terima apa-adanya, tanpa bisa mengganggu apalagi menggugat.

perasaan kecewa karena menjadi orang yang *tidak terpilih* juga gw alami saat 1 minggu setelah lulus ujian sarjana, gw ikut ujian saringan masuk pt.astra internasional. gw sudah mengikuti sampai 5 kali saringan, dan saringan ke-6 adalah saringan terakhir. dari 25 yang lulus dari saringan ke-5, harus dipilih 20 terbaik. lagi-lagi, gue termasuk 5 yang tidak terpilih, dan lagi-lagi pula, gue belajar untuk tidak terpilih.

kalau orang bilang, sekolah yang terbaik itu adalah *hidup/life*, itu bener banget..!!karena dari pengalaman hidup, kita bisa banyak belajar. pengalaman menjadi tak terpilih pun terjadi lagi, waktu mengikuti seleksi wartawan (profesi impian gue saat itu) di gramedia majalah. tes IQ, dan tes tes tertulis sudah gue lewati dengan baik. tinggal langkah terakhir, mengikuti tes wawancara. selembar amplop putih berlogo HRD pt.gramedia majalah yang dialamatkan ke rumah gw, jadi jawaban hasil 5 kali seleksi panjang yang gue ikuti selama 2 bulan. dan gue tidak lulus tes wawancara. hah..!! lagi-lagi..! kecewa berat,nangis,kesel,menuntut,jadi males-malesan, adalah reaksi gue saat itu.

selama kuliah (sampai saat ini),g paling was-was kalau dosen membagikan nilai ujian. ko' masi ada ya di dalam diri gue,bisikan-bisikan kecil yang menuntut gue untuk *jadi yang terbaik*. kalau nilai keluar, selalu gue celingukan, mau tau nilai orang lain, yang akhirnya memberi *efek tenang* ke diri gue, kalau ternyata, *gue masih jadi yg terbaik diantara mereka* atau malah memberi *efek kalah* ke diri gue, kalau ternyata *gue tidak menjadi yang terbaik*

uhm..,satu hal yang gue belajar dari beberapa pengalaman-pengalaman gue dan apa yang terjadi pada diri gue, kalau perasaan-perasaan menuntut diri itu gak baik. kita seperti punya *invisible creature* yang menuntut kita untuk jadi yang *terpilih*, *terbaik*, *tertinggi*, atau apalah namanya. bisa jadi juga itu akibat didikan masa kecil yang agak-agak kurang untuk dihadapkan / diajak belajar menghadapi kenyataan bernama *kegagalan*, *tidak terpilih*, *bukan yang terbaik* atau semacamnya. kalau sejak dini kita dikenalkan *proyek-proyek gagal*, maka kita pun tidak terlalu jadi punya semacam ketakutan pribadi untuk menjadi gagal/menjadi yang tak terpilih. itu jadi hal yang biasa, wajar kita alami,bahkan harus.

bukankah hidup tidak hanya sekedar *menjadi yang terpilih*, *menjadi yang terbaik*, atau sekedar *menjadi yang tertinggi* ?? hidup adalah hidup yang harus dijalani, apa pun hasilnya, dan apa adanya kita.

Monday, October 24, 2005

puisi yang lahir kembali : musikalisasi puisi

Puisi adalah lagu. Dan lagu itu juga sebuah puisi. Itulah kesimpulan singkat yang saya ambil setelah saya mendengarkan sebuah CD musikalisasi puisi bertajuk *gadis kecil* karya Tatyana dan Reda (produksi Dua Ibu 2005). Musikalisasi puisi adalah suatu penciptaan (kembali) karya puisi yang dikemas dalam sebuah lagu, dimana bait-bait puisi menjadi syairnya. Musikalisasi sebuah puisi menjadikan sebuah puisi *lahir dua kali*. Kelahiran pertama adalah kelahiran bait-baitnya dari *rahim* sang pencipta puisi, dan kelahirannya yang kedua adalah dari *rahim* sang komposer, pencipta musik,penyanyi serta pemain instrumen musiknya.

Ini tidak mudah, karena pemberi nuansa musik dalam musikalisasi puisi (komposer) bukanlah si pencipta puisi itu sendiri, tetapi orang lain yang mencoba memahami bait-bait puisi untuk dimasukkan dalam kerangka melodi sebuah lagu. Tidak mudah juga, karena puisi itu sendiri pada awalnya sudah merupakan sebuah *irama* yang tak bernada yang diciptakan oleh penulisnya. Adalah tugas seorang komposer/pencipta lagu yang memakai sebuah puisi menjadi syairnya untuk membunyikan nada yang belum dimainkan dalam ruh sebuah puisi untuk kemudian diterjemahkan dalam komposisi nada dan dinamika. Tak jarang, musikalisasi puisi menjadi suatu *kelahiran yang gagal*. Kegagalan ini karena musik yang dibuat justru *mengubur* roh / jiwa puisi yang sudah ada terlebih dahulu. Makna dalam puisi menjadi tidak tampak, terkurubur dalam riuhnya musik karena kesalahpahaman interpretasi makna.

Dalam musikalisasi puisi, sebuah puisi dengan bait-bait kalimatnya memang menjadi *tuan* dalam sebuah lagu. Musik dengan segala dinamika, nada, tempo, harus takluk dalam makna sebuah puisi yang sudah terlahir terlahir / tercipta terlebih dahulu. Perlu kebesaran hati sebuah pencipta musikalisasi puisi untuk berdialog dengan pencipta puisi sehingga ia dapat membahasakan kembali makna sebuah puisi dalam hadirnya sebuah lagu yang akan ia ciptakan. Puisi puisi Sapardi, bagi saya cenderung tenang, romantis, sederhana dalam pemilihan kata, namun tetap bermakna dalam. Dalam ciri khas inilah seorang komposer musikalisasi puisi ditantang untuk menghadirkan kembali puisi-puisi Sapardi tanpa kehilangan ruh puisi Sapardi yang tenang, romantis, sederhana, namun dalam makna. Selintas saya terbayang bila ada karya musikalisasi puisi yang mengangkat bait-bait syair dari puisi mbeling Remy Sylado. Sekalipun saya belum pernah mendengarnya, tapi saya membayangkan sebuah karya musikalisasi puisi yang jenaka, nyeleneh, aneh, musik yang tak terduga, kontemporer namun tetap punya pola, membuat pendengarnya tertawa namun sekaligus mentertawakan dirinya sendiri.Bayangan saya sesuai dengan khas puisi mbeling Remy yang *mbeling* (aneh, tak sesuai aturan, berbeda, tak seperti pada umumnya). Demikian pula musik yang saya bayangkan adalah musik yang serupa dengan gaya bahasa puisinya.

Mendengarkan sebuah karya musikalisasi puisi, bagi sebagian orang yang kurang akrab dengan karya seni puisi, dapat menjadi suatu awal yang sulit untuk mencerna makna sebuah karya musikalisasi puisi. Penikmat karya perlu sedikit cerdas, tak hanya cerdas menikmati melodi lagu, tapi juga cerdas mengaolah makna. Karena makna harus digali dari bait bait syair yang nota bene adalah sebuah puisi yang tak rela begitu saja membahasakan makna dengan mudah dan gamblang. Makna besembunyi dibalik kata-kata, simbol, rima suku kata, seperti layaknya bahasa puisi yang tersirat dan tak begitu saja dengan mudahnya mengungkapkan makna. Kadang kita harus menduga-duga, berimajinasi seolah – olah aku adalah sang Sapardi Djoko Damono, sang Sutardji Calzoum Bachri, atau aku adalah Chairil Anwar. Lalu kemudian mengakrabi musiknya, seiring dengan *musik syair* yang sudah ada. Tak ada salahnya membaca terlebih dahulu bait syairnya, sebelum mendengarkan lagunya. Semoga tidak terlalu membuat dahi anda berlipat ketika mendengarkan sebuah musikalisasi puisi.

Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, musikalisasi puisi memang sesuatu yang belum banyak dikenall. Jenis kreativitas seni ini lebih dikenal di kalangan pelaku / penikmat sastra / budaya, bengkel teater, mahasiswa ilmu sastra / budaya, dan semacamnya. Apakah ini menandakan masyarakat Indonesia sulit menerima suatu musik yang memiliki bait syair yang relatif sulit dicerna? (karena tersirat dan bermakna dalam?). Sekiranya hal ini tak sepenuhnya benar, ketika terlintas di benak saya, lagu-lagu ciptaan Katon Bagaskara dalam kelompok musik yang kini sudah membubarkan diri -Kla Project-. Kla Project dengan Katon di dalamnya, berhasil menghadirkan lagu dengan lirik lirik puitis dan dalam pada setiap karyanya. Cermatilah salah satu lagu mereka di bawah ini ;

Lara Melanda
(dari album Kla “kedua” Project)

Berada di tepi keraguan
Tebing bayangmu sesekali luruh jua
Tercipta nelangsa di pucuk rerumputan
oh.. harumnya dukaku
ditiup semilir sikapmu mendua

Menghitung bintang satu-satu
sesukar meraba lelikuan sifatmu
berkali diri ini, terpaksa jatuh
pada jurangnya bimbang
dan asa yang tercecer, sempat bertanya

Senyum atau merahkah kau tawarkan ?
bagi jiwa dahaga 'smara
aku ini lelaki kecil dalam
kurun waktu berlalu
Lalu merenung, mencari seberkas bayangmu
Untuk kulukis di cermin mataku

(Keunikan ini yang membuat saya menyukai karya karya musik Kla Project dan juga Katon Bagaskara). Lirik puitis lagu di atas cukup dapat menjadi sebuah lagu populer yang albumnya meledak di pasaran Indonesia. Merupakan suatu tanda, bila Kla Project berhasil mengusung lagu-lagunya dengan bait-bait syair puitis, musikalisasi puisi juga perlahan lahan dapat diterima sebagai konsumsi masyarakat pop Indonesia, yang (mudah-mudahan) memiliki pilihan selera lirik lagu yang semakin puitis dan berseni.

Image hosted by Photobucket.com Menyenangkan bagi saya, mendengar komposer – komposer Umar Musilim dan AGS Arya Dipayana berhasil *mendeklamasikan* puisi – puisi karya Sapardi Djoko Damono dalam CD musikalisasi puisi bertajuk *Gadis Kecil*. Karya AGS Arya Dipayana terasa lebih menyentuh dan melankolis, menghidupkan syair puisi Sapardi, telebih pada karya favorit saya, “Hatiku Selembar Daun”. Pilihan instrumen musik gitar, flute serta bass adalah sebuah pilihan sangat tepat. Instrumen tersebut berhasil mengawal nada dalam lorong reflektif, tenang , juga riang namun tanpa bising, sehingga syair puisi tetap menjadi *raja* dalam setiap lagu. Juga suara dua ibu, Reda Gaudiamo dan Tatyana Soebianto yang juga ikut dalam *pendeklamasian* puisi karya Sapardi di panggung bernama musikalisasi puisi ini. Suara mereka yang terdengar berjenis suara country menjadi sangat pas untuk menyanyikan lagu-lagu musikalisasi puisi. Tidak butuh suara penyanyi yang bervibrasi atau sejenis seriosa. Juga tak butuh suara yang terlalu ekspresif seperti layaknya penyanyi opera. Sebuah suara pas yang sederhana, yang menyanyikan nada dengan tepat, tanpa harus berusaha keras menyampaikan maknanya pada pendengar, karena syairnya sudah mengekspresikan banyak makna tersirat. Adalah tugas pendengar dan penikmat musikalisasi puisi untuk menafsirkan makna lagu dalam konteks maksud penyair atau minimal dalam konteks tafsir pribadi si pendengar.

Dari CD inilah saya baru mulai mengintip dan mencoba berkenalan dengan Sapardi Djoko Damono, sang tuan penyair dalam CD ini. Sebuah buku kumpulan puisi Sapardi bertajuk *Hujan Bulan Juni* menambah koleksi buku saya di rumah, yang saya beli tak lama setelah penasaran ingin tahu puisi indah apa lagi yang sudah pernah Sapardi buat selama ini.

Sedikit gatal juga mendengar Reda dan Tatyana menarik nafas pada sepenggal kalimat lagu yang sayang sekali bila harus terputus karena sebuah tarikan nafas. Misalnya, dalam lagu *Aku Ingin*.

Aaaaaaku ingin, mencintaimu, dengan sederhana.

Kata *Aku* yang memang berawal dengan nada legatura panjang dengan awalan suku kata *aaaaa*, harus diputus dengan suku kata *-ku* yang mengikutinya. Padahal kata *aku* adalah kata pendek yang sayang bila begitu saya diputus dengan sebuah pengambilan nafas penyanyi. Akan lebih baik bila penyanyi sebelum memulai kalimat dalam bait ini, mengambil nafas diafragma agak dalam, sehingga sampai menyanyikan kata *aku* tanpa harus diputus.

Demikian juga dengan bagian ini ;

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat
Diungkapkan kayu kepada api yang men…..jadikannya abu

Kata *menjadikannya* juga diputus oleh penyanyi dengan terikan sebuah nafas kecil. (men….*nafas* jadikannya abu) Tetap terdengar mengganggu. Akan lebih baik bila bisa tanpa pengambilan nafas. Klimaks bait menjadi kurang tercipta, karena saat hampir tuntas melagukan akhir bait, terpaksa harus mendengarkan tarikan nafas kecil penyanyi yang seakan akan menyandung perjalanan klimaks nada lagu.

Pemenggalan kalimat nampaknya perlu mendapat perhatian lebih bagi penyanyi album ini, agar sebuah kalimat tak harus hilang keutuhannya hanya karena tarikan nafas dalam penyanyi yang seharusnya bisa disiasati dengan pengambilan teknik bernafas yang lebih tepat dan siap.

Namun hal kecil ini tak cukup mengganggu saya untuk memutar berkali kali CD musikalisasi puisi karya dua ibu ini. Dan saya menjadi tidak sabar, menunggu album kedua mereka.

Tuesday, October 11, 2005

hatiku selembar daun

hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput
nanti dulu

biarkan aku sejenak
terbaring disini
ada yang masih ingin kupandang
yang selama ini senantiasa luput

sesaat adalah abadi
sebelum kau sapu tamanmu
setiap pagi...

*sapardi djoko damono
lagu (puisi) favorit saya, dinyanyikan dalam CD album musikalisasi puisi *gadis kecil* karya Reda Gaudiamo dkk

Friday, October 07, 2005

my sister, yacinta

Image hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.com










Image hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.com

Thursday, October 06, 2005

find your life, enjoy the coffee

Hidup yang tidak direfleksikan
adalah hidup yang tidak layak untuk dijalani..

socrates
470BC - 399BC

Sekelompok alumni Universitas Notre Dame, pergi bersama mengunjungi dosen mereka. Semuanya telah memiliki karir yg mapan. Pembicaraan segera beralih ke keluhan seputar hidup dan karir mereka. Menawarkan kopi pada tamunya, sang dosen pergi kedapur dan kembali dengan kopi satu teko penuh dan berbagai bentuk cangkir--porselin, plastik, gelas dan beberapa cangkir bagus, mahal dan berkelas. Kemudian, meminta mereka semua mengambil kopi sendiri.

Saat semua murid telah memegang masing2 cangkir ditangannya, sang dosen berkata:

" Jika kalian perhatikan, semua cangkir yang tampak bagus dan mahal diambil, membiarkan cangkir lainnya yg jelek dan murahan. Jika selalu mengambil yang terbaik normal bagi kalian, itulah sumber masalah dan stress kalian. Apa yang paling kalian inginkan adalah kopi, tetapi secara tak sadar kalian memilih cangkir yang terbaik dan melirik ke cangkir orang lain."

kemudian..

"Nah sekarang, jika diandaikan hidup adalah kopi, kemudian pekerjaan, uang dan posisi di masyarakat adalah cangkirnya. Cangkir itu adalah alat untuk memegang dan mengontrol hidup, namun kualitas hidup itu sendiri tidak akan berubah.Dengan hanya berkonsentrasi pada cangkirnya, kita sering lupa menikmati kopi yg ada didalamnya."

Sunday, October 02, 2005

engkau itu siapa?

Wanita dalam sakratulmaut menghadapi ajalnya. Ia tiba-tiba merasa, bahwa ia dibawa ke surga dan berdiri di muka Takhta Pengadilan. "Siapa engkau itu?" kata suara kepadanya. "Aku ini istri lurah," jawabnya. "Aku tidak bertanya kepadamu, engkau istri siapa, tetapi engkau itu siapa?" "Aku ini ibu empat orang anak." "Aku tidak bertanya, engkau ibunya siapa, tetapi siapa engkau itu?" "Aku ini guru di sekolah." "Aku tidak menanyakan pekerjaanmu, tetapi siapa engkau itu."

Dan demikianlah seterusnya. Tidak peduli apa yang menjadi jawabannya, rupanya itu bukan jawaban yang memuaskan terhadap pertanyaan: "Engkau itu siapa?" "Aku ini seorang Kristen." "Aku tidak menanyakan agamamu, tetapi engkau itu siapa." "Aku ini seseorang, yang tiap hari pergi ke gereja dan selalu membantu orang miskin dan orang dalam kesulitan." "Aku tidak menanyakan perbuatanmu, tetapi siapa engkau itu."

Ia jelas gagal dalam ujian, oleh karena itu ia dikirim kembali ke dunia. Ketika sembuh dari sakitnya ia berniat menemukan siapa dia. Dan itulah yang membuat segalanya berbeda sama sekali.

Tugasmu itu berada. Tidak menjadi seseorang atau bukan apa-apa - sebab disitu ada keserakahan dan ambisi - tidak menjadi ini dan itu; - dengan demikian menjadi bersyarat - tetapi hanya ada saja.

Anthony de Mello,SJ
*doa sang katak*

Image hosted by Photobucket.comMenjadi seorang *aku* terkadang menimbulkan kesibukan diri untuk terus *mempersolek diri* dengan banyak tuntutan diri dan orang lain. Memiliki kebanggaan bisa melakukan ini dan itu, memiliki pekerjaan ini dan itu, memiliki hobi ini dan itu, memiliki benda benda ini dan itu, seakan menjadi tempelan tempelan yang wajib terus dicari dan diincar untuk mempersolek wujud *sang aku* yang semakin baik dan pantas, paling tidak untuk berkaca pada diri sendiri, sebelum si *aku* dilihat oleh orang lain. Timbunan *aku* yang sedang bersolek ini semakin tebal dan terus dicari sehingga seakan akan *aku* menjadi tak ada tanpa solekan diwajahku. Pertanyaan *siapakah aku ini?* menjadi punya jawaban..bahwa aku adalah profesiku, aku adalah hebatku, aku adalah kegemaran dan hobiku, aku adalah gelarku, aku adalah pekerjaanku. Adanya seorang diriku hanya mungkin ada apabila aku...bla bla bla..apabila aku bli bli bli....apabila aku blu blu blu...(semuanya bersyarat...jika..apabila...)
Lama kelamaan menjadi timbunan timbunan keserakahan dan ambisi untuk terus bersolek, sementara sang *aku* terlantar diam tanpa gerak diatas lantai bernama *kejujuran batin*.

Bukankah adanya diriku saja sudah merupakan anugerah? tanpa harus dibebani tuntutan tuntutan yang harus semakin bersolek memenuhi tuntuan zaman? Karena tugasku itu *ber-ADA*
Tidak menjadi seseorang atau bukan apa-apa - sebab disitu menjadi ada keserakahan dan ambisi - kuatir dan takut karena tidak menjadi ini dan itu, dengan demikian segalanya menjadi bersyarat.
*Ada*mu dan *Ada*ku adalah sebuah anugerah! Mengapa kita lalai mensyukurinya?

saung angklung udjo

Bila berkesempatan ke kota Bandung, fikiran saya tak jauh dari *Bandung adalah outlet..kartika sari..brownies kukus..bawean..cihampelas..yoghurt..edward forrer..batagor kingsley..the valley..sosis pasirkaliki dan..uhm...*angklung??* Sepertinya yang terakhir ini terdengar aneh!! Tapi tak menjadi aneh setelah saya mengunjungi sebuah saung (saung, bahasa sunda yang artinya rumah kecil, tempat bercengkrama, berkumpul,yang dinding dan rangkanya terbuat dari bambu). Saung itu adalah *Saung Angklung Udjo* yang saya kunjungi selepas 3 hari retreat UPH di Bandung.

Image hosted by Photobucket.comSeperti namanya, tempat ini memang lebih mirip sebuah padepokan,rumah-rumah dari bambu. Berbagai alat musik angklung menjadi *jantung* saung ini, dan Udjo adalah nama sang maestro, pendiri saung angklung ini. Melangkahkan kaki memasuki tempat ini, saya dibangunkan oleh sebuah kesadaran bahwa inilah...salah satu kekhasan kota Bandung yang jauh lebih berharga dari pada sekedar deretan bangunan-bangunan outlet megah dan restoran-restoran di ujung tebing dan lembah yang kini banyak menjamur di sana. Bagi anda penikmat seni dan mencoba melihat Bandung tidak hanya dari sudut komersial industri semata, saung angklung udjo menjadi oase di tengah lebatnya outlet,mall dan gerusan budaya kapitalis yang cakarnya sudah (terlanjur) mencengkram erat kota Bandung.

Image hosted by Photobucket.comSaung Angklung Udjo (selanjutnya disingkat menjadi SAU) didirikan bulan Januari 1967 oleh Alm.Mang Udjo (Udjo Ngalagena) dan istrinya Uum Sumiati Udjo. Keakrabannya dengan alat musik angklung ditumbuhkan sejak ia berumur 4 tahun, dimana di desa tempat tinggalnya, ia sering mengikuti perarakan / upacara-upacara tradisional yang banyak menggunakan angklung sebagai alat musik pengiring pesta tradisional di desanya. setelah lulus sekolah menengah, ia memilih untuk serius mempelajari budaya (terutama musik) khas Jawa Barat. Di sekolah menengah, ia belajar jenis nada diatonis (do re mi) di samping nada pentatonis yang menjadi khas tangga nada tradisional sunda/jawa. Mang Koko adalah seorang maestro tempat Udjo belajar bermain kecapi. Keiingintahuannya akan jagad musik tradisional jawa membuat ia belajar gamelan dari Raden Machyar Angga Kusumahdinata. Sampai akhirnya ia juga belajar alat musik angklung dari bapak Daeng Soetigna,orang pertama yang menciptakan angklung dengan bunyi nada diatonis pada tahun 1938.

Image hosted by Photobucket.com















>>1 gambang mini
alat musik bernada diatonis, yang berukuran relatif kecil. Bentuknya yang kecil, sering digunakan orang sebagai aksesoris di sudit rumah.
>> 2 angklung set lengkap
terdiri dari 6 set oktaf nada angklung diatonis yang memiliki range / jangkauan nada yang berbeda beda. angklung orkestra ini untuk dimainkan pemain lengkap sejumlah 25 orang.
>> 3 arumba
arumba adalah singkatan yang diberikan oleh SAU untuk sebuah makna, Alunan Rumpun Bambu. alat musik berbentuk orkes kecil ini untuk dimainkan 6 orang pemain. pada dasarnya alat musik ini dibentuk meniru format alat musik vibraphone dan xylophone dalam konteks alat musik modern. namun soal bunyi, tentunya sangat berbeda.
>> 4 calung
jenis alat musik ini konon kabarnya lebih tua dari angklung. aslinya, alat musik ini bernada pentatonik sesuai gaya lagu sunda / jawa barat. namun dalam perkembangannya, dibuat juga calung dengan nada diatonik. cara membunyikannya adalah dengan memukul rongga bambu sehingga menimbulkan bunyi. panjang pendek ruas bambu mempengaruhi bunyi yang ingin dihasilkan.

Seiring dengan kekagumannya pada alam yang bisa menciptakan bunyi-bunyian, ia mengembangkan alat musik angklung menjadi beragam jenis alat musik dari batang bambu sehingga dapat disebut sebagai *orkes angklung*.Kepiawaiannya mengeksplorasi bunyi bunyian dari ruang batang bambu membawa *orkes angklung* menjadi suatu penampilan tradisional khas dalam pembukaan KTT Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, dengan Bp.Daeng Soetigna sebagai konduktor orkesnya. Kepiawaiannya membuat ia layak menerima tongkat estafet pelestarian seni budaya angklung dari empunya, Daeng Soetigna, hingga ia dapat berkeliling Indonesia bahkan dunia, untuk memperkenalkan alat musik tradisional asli Indonesia.

Mang Udjo bukanlah seorang maestro andaikata ia hanya menghayati pekerjaan yang ia lakukan hanya sebagai rutinitas belaka. Ia mengambil sari kebijaksanaan alam dari setiap ruas bambu yang ia tempa menjadi alat musik angklung. setiap goyangan atau pukulan angklung, membuat ia sadar bahwa banyak bunyi bunyian buatan manusia, semua sesungguhnya berasal dari alam. Alam adalah sebuah tanah air terluas dimana banyak bunyi bunyian dan musik lahir dari sana. Permasalahannya, apakah manusia mau mendengar suara alam yang sudah menyediakan sejuta keindahan? Banyak sekali aforisma (ungkapan bijak) yang selama almarhum hidup, ia abadikan dalam tulisan-tulisan yang kini dipajang di setiap ruas dinding SAU. Buah perenungannya yang hadir dalam setiap aporisma, membawa anak cucunya untuk tak larut dalam *bisnis angklung* semata, tapi diingatkan untuk kembali ke alam,sebagai ibu kandung segala keindahan yang bisa ditangkap indra manusia, yang pada akhirnya tidak membuat manusia menjadi sombong dan lupa, hanya ingat uang semata,namun juga ingat Sang Pencipta. Mang Udjo wafat 3 Mei 2001 meninggalkan warisan budaya yang tak ternilai harganya, yang kini terus dikembangkan oleh anak cucunya.

Kembali menikmati SAU, saya ajak Anda untuk memasuki ruang penjualan souvenir khas budaya jawa barat. Topeng sunda, wayang golek, blangkon sunda, angklung mini, kendang, lukisan bambu, suling, dan berbagai aksesori dari bambu mendominasi toko souvenir dalam SAU ini.

Persis di sebelah toko souvenir, didirikan pendopo berpanggung untuk *pertunjukan* sanggar SAU ini. Pendopo dibangun mirip stadion mini untuk pertunjukan sanggar. Untuk kita ketahui, SAU tidak hanya memiliki visi untuk mengembangkan alat musik angklung saja, namun juga ingin mengembangkan kesenian Sunda pada umumnya, seperti wayang golek, tari tarian tradisional, serta pertunjukan drama tradisional. Suguhan wayang golek membuat seluruh penonton terhibur, dengan kelihaian dalang memberikan *roh* pada tokoh wayang si cepot yang mengaku ngaku wajahnya mirip Delon :D. Begitu juga dengan keriaan anak anak remaja dan anak anak kecil di bawah asuhan sanggar SAU membawakan tarian suka cita untuk temannya yang ditandu karena baru saja disunat. Budaya lampau tanah parahiangan mencatat bahwa dahulu kala, seorang anak selesai bersunat, harus di arak sekeliling kampung sebagai penanda ia sudah dewasa dan siap untuk menikah.

Image hosted by Photobucket.com
>>5 >> 6 mengarak raja kecil
Anak-anak sanggar SAU menarikan tarian keriaan ungkapan syukur rekannya yang sudah disunat.
>> 7 orkestra memainkan lagu manuk dadali, lagu khas jawa barat
>>8 istirahat kelelahan setelah pertunjukan. Anak - anak SAU, suryana, asep dkk.

Image hosted by Photobucket.comSalah satu pertunjukan yang memukau adalah penampilan orkestra angklung dan koor anak-anak. Pada pertunjukan pertama mereka membawakan lagu *Indonesia Tanah Air Beta* dan *Tanah Air*. Selanjutnya dimainkan pula beberapa lagu barat bahkan lagu benuansa *techno* yang berhasil dimainkan dengan orkestra angklung tanpa kehilangan *greget*nya sebagai lagu pop modern. Dalam penampilan ini, orkestra angklung dibantu beberapa alat musik non bambu, yaitu drum dan gitar bass, untuk memberikan nada-nada terrible bawah yang tak mungkin diciptakan oleh alat musik bambu karena terdengar terlalu *light* / bening. Sayang, terkadang alat musik *bantuan/sampingan* ini sedikit mengganggu performa karena dimainkan terlalu keras sehingga dalam bagian bagian tertentu menenggelamkan irama angklung yang terdengar. Mendengarkan dengan lebih jeli, aransemen orkestra ini bukan aransemen sembarangan. Komposisi digarap serius dengan tidak hanya sekedar menggunakan chord chord standar, tapi juga menyisipkan nuansa pentatonis yang memperkaya roh lagu sebagai lagu tradisional sunda. Grup orkes bambu SAU sungguh luar biasa. Tepukan riuh dan decak kagum penonton, menandakan keindahan performa orkes tradisional ini.

Image hosted by Photobucket.comSelain disuguhi orkestra dan tarian, saya dan rombongan menyimak penjelasan cara membuat angklung, oleh anak sulung Alm.Mang Udjo sendiri. Singkatnya, buluh bambu diukir dan diukur panjangnya, lalu ditiup/dipukul untuk mengetahui apakah bunyi yang dihasilkan sudah

Friday, September 16, 2005

for the first time - kenny loggins / rod steward

i'm getting crazy with this song for the last 3 weeks.
:p ...enjoy it..!!

Are those your eyes?
Is that your smile?
I’ve been looking at you for ever,
But I never saw you before.
Are these your hands? Holding mine?
Now I wonder how I could have been so blind.
And for the first time, I am looking in your eyes.
For the first time, I'm seeing who you are.
I can't believe how much I see,
When you're looking back at me.
Now I understand what love is,
Love is...
For the first time...

Can this be real?
Can this be true?
Am I the person I was this morning?
And are you the same you?
It’s all so strange.
How can it be?
All along this love was right in front of me!
And for the first time, I am looking in your eyes.
For the first time, I am seeing who you are.
I can't believe how much I see,
When you're looking back at me.
Now I understand what love is...
Love is...
For the first time.

Such a long time ago,
I had given up on finding this emotion,
Ever again.
But you're here with me now,
Yes I found you somehow,
And I've never been so sure.
And for the first time, I am looking in your eyes,
For the first time, I'm seeing who you are,
Can't believe how much I see,
When you're looking back at me.
Now I understand what love is...
Love is...
For the first time

@ # $